Bhinneka Tunggal Ika – Komodo: Antara Kerukunan Umat Beragama dan Keajaiban

image

image

Sebenarnya sejak dari hari Minggu, kepengen nulis tentang macam-macam hal yang mengendap di kepala sejak beberapa bulan terakhir. Tetapi sindroma blogger males apdet dengan berbagai alasan klasik membuat blog ini belum me-release postingan baru lagi. Padahal yang namanya prihatin dan gelisah –sesuai takdirnya, restless angel– terus membuncah dan menghantui.

Masih ingat sekali, Minggu pagi tanggal 5 Februari. Sama seperti hari Minggu lain, bangun siang, langsung nyaut hape dan baca timeline twitter. Masih pagi tapi berbagai isu sudah tergelar, dan yang hot pagi itu adalah berita tentang tereliminasinya Pulau Komodo dari 10 besar nominasi New Seven Wonder

danbeberapa fakta menggelitik dibaliknya.

Setelah terlibat diskusi yang cukup seru dengan @ndorokakung, aktivitas hari itu berjalan seperti biasa. Tanpa pernah menyangka, bahwa siang/sorenya, akan terjadi peristiwa sadis yang mengguncang akal sehat dan hati nurani. Mungkin pagi itu di-jam yang sama, tiga penduduk Cikeusik, Pandeglang, Banten, tidak akan pernah menyangka, dalam beberapa jam kedepan mereka akan mengalami siksaan maha dahsyat, sekarat dengan cara yang mengenaskan dan menyakitkan, dan ketika meninggal pun masih harus mengalami penistaan.

Saya shock ketika sore itu mendapat kabar dari teman. Apalagi ketika sudah sampai rumah malamnya dan mengecek peristiwa Cikeusik dengan lebih seksama. Ya Allah… saya gemetar. Bahkan Seninnya, saya masih senewen. Malam, bergabung dengan mba @AlissaWahid dan teman-teman lain di Tugu Jogja untuk aksi Senin Hitam.

Mba Alissa banyak sharing dan ngobrol dengan kami, berbagi kegelisahannya. Bahwa yang terjadi di Cikeusik bukan semata tentang Ahmadiyah. Karena, peristiwa serupa dapat terjadi pada pihak lain yang berbeda. Ada yang salah dalam memaknai perbedaan. Apa kabar Bhinneka Tunggal Ika, demikian pertanyaan yang tercetus malam itu.

Dan, innalillahi… Selasa siang merebak berita pembakaran gereja dan sekolah kristen oleh massa yang mengamuk. Sekali lagi saya lemas, gelisah luar biasa. Apalagi ketika mencermati respon-respon mengenai dua peristiwa tersebut. Ada kecenderungan, publik terbelah, karena perbedaan sikap dalam memandang / bereaksi terhadap peristiwa tersebut. Dan yang cukup menggelisahkan, ada kecenderungan untuk bersikap negatif terhadap pihak yang berbeda sikap. Permusuhan? Kebencian? Dislike? Semoga saya salah.

Selain itu juga kecenderungan bersikap ignorant. Banyak alasan yang mendasari sikap tersebut. Ignorant dalam arti, banyak yang belum sadar/enggan untuk benar-benar bertindak melakukan sesuatu. Cenderung menghindar.
Ada apa? Mengapa? Saya tidak paham. Apa arti Bhinneka Tunggal Ika bagi mereka?

Ada lagi yang merasa ketenangan dan kenyamanannya terusik dengan reaksi kemarahan, kegelisahan, kegeraman. Mereka yang terganggu ini menyuruh kami diam. Mengapa kami tidak boleh menyuarakan kegelisahan kami?

Malam ini ketika sedang gugling saya mengalami ‘kebetulan’. Dua peristiwa/kejadian yang sepertinya tidak berhubungan sama sekali sebenarnya, tapi seperti tersambung benang merah.
Silakan baca link berikut ini. Postingan warga Kompasiana, yang menuturkan kekayaan yang dimiliki Nusa Tenggara Timur. Bhinneka Tunggal Ika yang benar-benar dihidupi dan dijalani. Sungguh kebetulan, dari kawasan kering dan miskin itu, dimana juga terdapat kekayaan dunia yang sempat digadang-gadang 7 Keajaiban Dunia, terdapat contoh nyata tentang kerukunan umat beragama. Contoh nyata tentang sikap terhadap perbedaan.

Teringat lagi rame-rame Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang dieliminasi dari nominasi yayasan NewSevenWonder. Walaupun dieliminasi, hal tersebut tidak menggoyahkan fakta bahwa komodo termasuk keajaiban dunia, bagian dari kekayaan dunia yang harus dilestarikan.
Sama halnya dengan contoh nyata dari Ledalero, Nusa Tenggara Timur. Ketika Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dibadani dan dihidupi. Kekayaan asli Indonesia yang juga harus dilestarikan.

7 pemikiran pada “Bhinneka Tunggal Ika – Komodo: Antara Kerukunan Umat Beragama dan Keajaiban

  1. Posting yang menyentuh mbak. Sudah saatnya pemegang kekuasaan di negeri ini melakukan langkah2 tegas dan nyata agar keadilan bisa ditegakkan dan kebhinekaan terjalin dalam kedamaian di Indonesia. Tidak sekedar mengungkap keprihatinan dengan aksi2 melankolik dan berbau pencitraan belaka.

  2. dari sudut pandang lain, komodo dan perilaku barbar para fundamentalis itu juga sebenernya heritage sih, warisan. bedanya yang satu harus diusahakan untuk dipertahankan dan dilestarikan (komodo) yang satu lagi harus dimusnahkan 😀

  3. Menurut pendapat saya pribadi :
    Untuk umat Muslim : Jangan mau dihasut untuk sampai menyakiti dan menyiksa orang yang tidak berdaya apapun itu agama dan kepercayaannya. Ikutilah tauladan Nabi Muhammad SAW yang lemah lembut dan halus budi bahkan terhadap orang yang mencacinya. Cobalah tempatkan diri anda sebagai pihak yang disiksa apakah anda akan terima?

    Untuk kaum ahmadiyah : Tidak ada yang melarang anda beribadah menurut kepercayaan anda tapi tolong jangan gunakan nama Islam sebagai agama anda, jangan gunakan Al-Qur’an sebagai kitab suci anda, jalankanlah menyembah Tuhan anda tapi jangan sebut ibadah itu shalat karena semua itu menyinggung umat Muslim. Kalau memang tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi & Rasul terakhir silahkan buat agama anda sendiri.. agama ghulam , agama Ahmad terserah anda tapi tolong hormati juga umat Muslim yang merasa dinistakan agamanya karena anda masih mengaku beragama Islam.

    Just My two cent…
    Maaf kalau ada yang tersinggung..

  4. Kadang aku tuh berpikir, jangan-jangan negara ini hanyalah sebuah provinsi dari sebuah negara lain di luar sana… dan kita semakin tak peduli pada budaya sendiri dan malah justru mengagung-agungkan budaya lain!?

  5. saya mengalami ‘deadlink’ ketika ingin membaca artikel yang mbak pasang di postingan ini…kurang begitu baek buat om google besok kalo mau nambah PR blognya tar..

    nice blog

Tinggalkan komentar