Pilih Sinetron atau Si Bolang?

image

Cihuuyyy, jagat blogosphere rame lagiii :mrgreen:

Semenjak @nonadita posting opini dia tentang sinetron Putri Yang Ditukar, efeknya ternyata diluar dugaan. Banyak postingan yang merespon tulisan @nonadita tersebut, bahkan @PakGuru yang setahu saya lagi anteng-antengnya, jadi terusik untuk ikut menuliskan opininya juga.

Saya sendiri sih, sejak lama berdiri dipihak yang anti sinetron. Kalau saya menghakimi bahwa sinetron itu ‘busuk, sampah’ dll, itu karena mudharat sinetron lebih banyak daripada manfaatnya. Hihihi, pilihan kata barusan pasti akan membuat panas pihak-pihak yang pro sinetron atau mereka yang memposisikan oposisi anti sinetron tanpa perlu menjadi fans sinetron.

Begini lho. Sikap saya itu didasari beberapa alasan, ples didukung latar belakang ilmu psikologi yang saya pelajari.

Alasan pertama, menonton sinetron untuk tujuan hiburan, kalau kita main ibarat, maka nonton untuk makanan rohani/mental/jiwa. Seperti ungkapan blogger siapa, yang mengibaratkan bahwa sinetron seperti makanan instan macam mie instan. Maka saya juga bisa memandang, tayangan-tayangan ditelevisi layaknya santapan yang bersifat psikologis.

Pertanyaan: apakah anda akan terus menerus memberi makan jiwa/rohani anda dengan tayangan seperti sinetron?
Orang nonton berita saja bisa berakibat negatif untuk jiwa, seperti jadi marah, depresi, dll. Apalagi sinetron yang lebih memfokuskan konflik tak berkesudahan, cara berpikir yang instan untuk mengatasi konflik, dll. Memang, ada yang membela bahwa sinetron juga memuat nilai ‘kebajikan selalu menang melawan kebatilan’, tapi fokusnya apakah benar itu?

Yang saya lihat malah ‘Cinderella Effect’. Tokoh utama digambarkan selalu pasrah, tak punya determinasi kuat, resilience rendah, achievement juga tak jelas, sikap dan komunikasi asertif apalagi. Yang ada malah, menunggu ditolong pihak lain, alih-alih asertif malah bersikap ala keset-nya 7 Habits.
Manusia Indonesia, secara umum banyak digerakkan oleh motivasi eksternal. Karena itu bisa dipahami, bahkan untuk sadar lalu lintas harus dipaksa lewat hukum/punishment, jarang sekali yang muncul karena kesadaran sendiri alias motivasi internal.

Nilai-nilai seperti inikah yang akan menjadi konsumsi anda?

Alasan kedua. Saya mempunyai pilihan. Sebagai manusia dengan kehendak bebas, saya bebas memilih. Selain sinetron, masih banyak kok alternatif tontonan yang lebih baik sebagai makanan jiwa. Saya tidak langganan tv kabel, jika anda menduga pilihan saya adalah channel NatGeo, Discovery Channel, atau HBO. Alternatif saya ya tv nasional dan tv lokal. Dan percayalah, selain sinetron masih banyak tayangan lain yang lebih bagus untuk jiwa. Mungkin yang penonton tv perlukan adalah tv guide (bukan rating, tapi ulasan atau review) dan promosi.

Misal di trans7 dari jam 12.30 – 17.00 full tayangan edutainment keluarga. Dari Si Bolang, Laptop si Unyil, Cita-citaku, Koki Cilik, Dunia Fauna, Jejak Petualang, Kisah Si Gundul, dll.
Kalau jam 9.30 – 12.30, bisa stel channel trans7, transTV, antv, global, metro, sila ganti-ganti. Dijamin tanpa sinetron dan full edutainment. Dari pengetahuan untuk anak, informasi kesehatan, keluarga, perempuan, hingga kuliner dan jalan-jalan.

Nah untuk jam prime time 18.00 – 21.00 memang lebih sedikit alternatif edutainment. Saya sendiri lebih memilih on the spot-nya trans7. Kadang antv menayangkan ripley’s believe it or not. Atau metrotv yang menayangkan feature. Atau kalau tidak, saya ganti ke channel tv lokal seperti rbtv, jogjatv, aditv, bahkan tvri. Tayangannya mulai dari kuliner lokal, jalan-jalan lokal, seni tradisional (jogja tv sering memutar folksong melayu hingga banyumasan), sampai talkshow.

Tetapi jam-jam segitu bukannya jam belajar ya? Saran saya sih, jika anak anda belajar, anda sebagai orang tua mencontohkan diri dengan mematikan tv dan melakukan kegiatan lain, misal membaca. Jadi anak-anak merasa orangtuanya bersikap konsisten, tidak sekadar jadi mandor perintah ini itu tapi sendirinya maunya cari hiburan.

Edutainment yang saya sebut diatas, menurut saya memuat lebih banyak nilai-nilai positif. Seperti cinta alam, lingkungan, dan binatang, persahabatan, menghargai perbedaan (si bolang dan unyil, setiap hari menampilkan anak-anak dari temanggung sampai kalimantan), wiraswasta (tayangan cita-citaku menampilkan potensi ekonomis dari hal-hal disekitar kita, seperti bebek, buah mengkudu, labu siam, dll), mengenal kekayaan & keragaman nusantara (bhinneka tunggal ika banget deh), dll.

Jadi saya merasa sayang kalau hanya saya saja yang belajar dan menikmati sendiri. Apalagi buat keluarga dan keponakan, untuk mereka, saya dorong mereka belajar nilai-nilai tersebut secara fun.

Alasan ketiga, sudah banyak penelitian tentang televisi dan acaranya dan dampaknya secara psikologis. Silakan dicari dijurnal juga, bahwa menonton bukanlah proses yang sederhana. Karena itu sebuah tontonan kekerasan bisa berdampak kepada penontonnya.

Jika saya ingin memberi jiwa saya, santapan yang menyehatkan, itu pilihan saya. Jika saya ingin orang-orang disekitar saya ikut merasakan santapan jiwa yang menyehatkan, demi kesehatan jiwanya, maka saya berupaya untuk memberi himbauan dan penjelasan, khususnya kepada anak-anak. Kalau untuk dewasa, pilihan ada ditangan masing-masing sih.

Seperti ibarat makanan. Kalau masih anak-anak, dididik dan dipilihkan makanan bernutrisi seperti sayuran segar, susu, dll. Kalau yang sudah dewasa, kalau sudah diingatkan bahaya kolestrol hipertensi dll tapi masih memilih lemak, makanan instan, rokok, dll ya terserah sih.

Terakhir, saya sebenarnya agak-agak gimana gitu dengan polemik sinetron ini. Ya tidak apa-apa sih, demi proses edukasi/mencerdaskan masyarakat *tsaaahhh*.
Tapi andai waktu rame-rame kasus ahmadiyah, temanggung, dll kekerasan karena dipicu perbedaan, kita sesama blogger bisa segempita ini untuk menaikkan awareness, khan gimana gitu.  🙂

Notes.
Kemarin Selasa, sempat berdiskusi dengan @hotradero dll ditwitter. Kesimpulan (sementara) saya, masih kuatnya dominasi sinetron sebagai pilihan hiburan keluarga, sepertinya karena banyak yang belum tahu ada alternatif lain. Karena itu seyogyanya, selain mengkritik juga sekaligus mempromosikan tontonan alternatif tersebut.

Selain itu, sudah agak lama saya mencari jika tayangan macam Si Bolang diproduksi dalam bentuk vcd. Jadi bisa ditonton kapan saja, dimana saja.
Semoga ada yang mendengar harapan saya dan syukur-syukur dikirimi gratisannya :mrgeen:

Note kedua, kalau mencermati komen-komennya, kok seperti ada kecenderungan, membenturkan dengan ‘aktivis socmed’. Ada yang menuduh socmed dan mereka yang kebetulan populer diranah socmed, dan mengoposisikan diri terhadap mereka.
Lhaaaa…mo cari musuh atau gimana?

37 pemikiran pada “Pilih Sinetron atau Si Bolang?

  1. Ping balik: nonadita » Jangan Tukar Isu Putri yang Ditukar

  2. anuh, bukan merendahkan tayangan lokal kalo saya akhirnya memilih membayar tipi berbayar. Tayangan-tayangan yang dirimu sebutkan itu bagus Mbak, kayak Si Bolang, Laptop si Unyil, Cita-citaku, Koki Cilik, Dunia Fauna, Jejak Petualang, Kisah Si Gundul, dll itu. Tapi iklan-iklan yang muncul di sela-sela tayangan itu ga bagus.

    Acara itu konsumsi anak-anak kan? Apa jadinya kalo acara anak-anak diselingi dengan iklan SMS Premium misalnya?

    kita yang dewasa bisa memilih, tapi anak-anak, tidak. Dan mereka sangat mudah tercuci otaknya karena tayangan televisi.

    Well apapun, saya tetap memilih mengunci saluran tipi lokal saya apabila saya tidak di rumah. Dan membatasi jam menonton tipi-nya. 🙂

  3. Sikapku masih seperti komen-komenku di beberapa blog, dari blognya Sora, Bapak Guru, Amed sampai dengan Gentole.

    Ini seperti pilihan merokok: hak ada di tangan penghisapnya. Mau nonton silakan, tak menonton juga silakan. Bukannya Memeth sendiri bilang bahwa “remote di tangan siapa?”

    Yang kami kritiki, termasuk dari kecenderungan socmed dan aktifis2nya soal ini, adalah kecenderungan memvonis, bukan lagi sinetron itu, tapi penikmatnya sendiri. Hingga implikasi seolah penikmatnya adalah orang common sense-nya di bawah rata-rata. Ini penghinaan namanya. Kebebasan bersikap seorang (aktifis socmed sekalipun) tidak membenarkan utk menghina kebebasan bersikap orang lain.

    Ada apa dgn socmed dan aktifisnya? Suci dari kritik? Atau aku & kawan-kawan yang mengeritik berhadapan dgn wajah lain dari massa ala FPI/tifatul-wannabe yang selalu benar? Jika karena kritik kami dianggap cari musuh, ya biarlah begitu. Jika socmed & aktifis2nya mau demokrasi, inilah demokrasi, Meth 😉

  4. Ping balik: Gerakan Koin untuk Sinetron Putri Yang Ditukar - Opinion - hermansaksono

  5. Saya masih di tengah-tengah. Tapi sebagai catatan, ini soal kualitas sinetronnya, ya. Soal durasi rasanya semua juga merasa berlebihan itu sampai tiga jam.

    Buat yang anti sinetron, wah Mbak, agak ngeri juga saya kalau apa-apa ditakar manfaat dan mudaratnya. 😦 Bayangan saya, kalau diterapkan, bakal kering betul apa yang kita lihat di televisi. Ini bagi saya bertentanganlah dengan kebebasan berekspresi. Teringat saya dengan pembredelan seni di Jerman dulu, katanya beberapa itu degenerate art, bolsheviklah, dekadenlah, gak mendidiklah.

    Buat yang anti anti sinetron (karena belum tentu pro sinetron toh): Masbro Alex, rasanya analogi rokok kurang tepat, sebab dalam kasus rokok konsumen sedikit lebih bebas. “Nonton sinetron” itu pilihan yang tidak se-pilihan menyulut rokok. Keyakinan saya seperti ini; “memperbaiki” kualitas sinetron (dari segi teknik sinema dst.) itu tak mesti mengorbankan selera ibu-ibu yang kita hipotesiskan itu. Selera mereka saya kira tak sesederhana itu, boleh jadi mereka bisa mengapresiasi PYD/CF karena memang tak ada banyak pilihan dan ternyata lumayan nyambung. 😀

    Umpamanya awak suka makanan manis, tapi dicekoki terus camilan gula pasir bertabur gula tepung oleh produser. Kalau kita mau letakkan variasi seperti roti manis bertabur gula, di situ, bukan berarti konsumen selama ini bakal merasa dikhianati.

    • @Pak Guru:

      Pilihan itu banyak — bahkan tidak terbatas menurut saya. Pilihan tergampang, nggak usah nonton — pilihlah kegiatan lain semisalnya main catur, ngerumpi, membaca, bermain dengan anak, dll — jika memang TV tidak memberikan pilihan lain sebagai tontonan pada jam tersebut.

      Sekali lagi, rasanya tidak ada pilihan itu kok rasanya alasan yang terlalu dibuat-buat ya….

  6. Ping balik: Homo Sinetronosus « Banalitas.org

  7. Setelah saya amati & makin lama saya lihat perbedaan pendapatnya (diskusinya) kok makin melebar dr sinetron, tyt begini. Kelompok anti sinetron, protes. Ada yg pro ada yg kontra. Nah yg kontra ini, yg awalnya membela sinetron, lalu mulai menyerang orang. Yah, bisa dipahami sih, siapa yg ga defense ‘dituduh’ dengan berbagai stereotype (?) dan asumsi bhw penonton sinetron pasti begini, begini, begini. Nah, lalu berdatanganlah bbrp orang yg ‘menuduh’ bhw aktivis sosmed ini suka sekali menghakimi selera orang dan sewenang2 memutuskan selera mana yg bagus. Jd topik/masalah utk orang2 kek gini adalah, para aktivis sosmed yg dinilai sombong.
    Okelah, kalau soal selera memang tak bisa diperdebatkan. Palagi yg utk orang dewasa, spt alex, yg memilih utk tetap merokok dg segala konsekwensinya, silakan.

    Yg jd concern saya pribadi dipostingan ini adl, ini lho, ada tontonan alternatif selain sinetron. Memuat nilai2 dr bhinneka tunggal ika smp ilmu pengetahuan. Ini baik utk anak-anak dan keluarga. Apalagi kl nontonnya didampingi, jd anak-ortu bs dialog.

  8. Pak guru,

    Mengapa menimbang manfaat mudharat, krn ini sinetron ditelevisi utk tayangan yg ditonton keluarga. Aku pake pertimbangan psikologi anak2 dan keluarga. Jgnkan sinetron, kartun sponge bob, mongs, dkk itupun ga bagus utk anak. Sponge bob, mongs, dkk mnrtku utk konsumsi dewasa krn bersifat satir dan sarkas.

    Kalo utk art, pure art, nah itu mah beda lagi.

  9. @memeth

    As i said, siapa yang pegang remote dia yang milih. Ini jadi masalah kalo ada orang bilang, “ini gak bisa diselesaikan denngan mematikan televisi.”

    @geddoe

    Keyakinan saya seperti ini; “memperbaiki” kualitas sinetron (dari segi teknik sinema dst.) itu tak mesti mengorbankan selera ibu-ibu yang kita hipotesiskan itu. Selera mereka saya kira tak sesederhana itu, boleh jadi mereka bisa mengapresiasi PYD/CF karena memang tak ada banyak pilihan dan ternyata lumayan nyambung.

    Kalo ternyata mereka suka yang cheesy dll gimana? Aku gak tau sih Ged. Tapi di dunia jurnalistik, sex, politik dan agama selalu laku. Berita sains mana laku. Saya sih melihatnya ini konsekuensi dari kebebasan yang kita miliki sekarang. Kebebasan ini, priceless. Perbaikan sinetron hanya bisa dilakukan oleh masa yang tak lagi suka sinetron. Gerakan apapun yang kepingin sinetron jadi bagus sementara jutaan masih suka sinetron jelek, itu menurutku absurd. Tak ada kata lain selain patronistik. It’s like asking ur friend to stop listening to ST12 and begin to have a listen to the Smiths.

  10. Kalo ternyata mereka suka yang cheesy dll gimana?

    Kalau ternyata suka yang cheesy maka tidak boleh ditukar-tukar. Harga mati. Saya di tengah karena belum yakin kalau tren yang ada memang tuntutan masyarakat atau sudah pakai digiring-giring PH.

  11. @ gentole

    saya bisa. tapi saya belum yakin kalo adik sepupu saya yang abege itu juga bisa. jangankan bisa, saya sendiri malah justru lebih tak yakin pula apa dia sadar/tidak kalo sedang digiringgiring marketing.

    memang, tidak semua orang di sana itu bodoh. tapi tidak juga semua orang di sana itu sehebat kita semua 😈 dan semoga katakata terakhir saya salah adanya :mrgreen:

    maka saya pikir dan saya pilih, saya lebih condong untuk setuju sama pendapatnya pak guru

  12. Ping balik: Yang Bola Ditukar Putri Yang Liar « +._cHoRo_.+

  13. Ngeliat komennya mbak chic jadi bersyukur nggak ada anak kecil di rumah, yang berarti kita bebas memilah milih mana tayangan yang bisa kita tonton, dan sehat buat kita 😀

    Saya juga bukan pengkonsumsi tv kabel dan emang bener kok banyak tayangan positif di channel lain selain channel yang isinya sinetron di jam prime time.

  14. Ping balik: Gerakan Agar Sinetron Indonesia Harus Mendidik

  15. Menurut saya sih pro kontra ada dan selalu berjalan beriringan,jika kita melihat
    Sesuatu pasti ada sisi Baik dan buruknya. we can say look for the bright side buat yg demen liat sinetron semua pada angkrem di rumah:)
    Buat yg ga suka ya ngapain kek lu(kalo inyong sih autis baca ebook ko ping ho )
    Mari kita jadikan perbedaan menjadi sebuah adu argument yg sehat
    Ah gw bilang apaan sih
    Yang pasti buat gw di tempat gw tinggal ada 4 bapak” dari bandung yg suka nonton ntu sinetron
    Buat mbak memeth aku setuju karo opini panjenengan

  16. saya juga termasuk yang tidak suka dan tidak pernah nonton sinetron (lagi). Dulu pernah nonton sekitar 2-3 judul sinetron, itupun krn secara subjektif saya suka dan lumayan ga lebay. Tapi sejak beberapa tahun kemarin ga pernah lagi liat sinetron krn secara pribadi saya menganggap terlalu banyak sinetron yang kurang berkualitas (menurut saya pribadi sih). Akan tetapi, jika ada orang yang memang memilih nonton atau suka sama sinetron sih, ya ga masalah.

    Saya hanya berpikir utk lebih berhati2 memilih tontonan tv (meski ga mesti ga nonton tipi sama sekali), terutama untuk anak2. Klo untuk orang dewasa sih, saya percaya mereka udah bisa memilih, dan mereka pasti punya alasan klopun memilih sesuatu tontonan 🙂

  17. Ping balik: Elegi Argumentasi Sinetron Yang Ditukarkan « Rahmad Hidayat's Blog

  18. Soal alasan pertama, tiap orang punya hiburan yang berbeda2 Meth. Dan seburuk2nya sinetron Indonesia dimata kita, tetap saja menghibur tuk penonton lain.

    Orang nonton berita saja bisa berakibat negatif untuk jiwa, seperti jadi marah, depresi, dll.

    Ah, ini sih dunia nyata. Jelas bikin stress kalo liat gereja dibakar atau harga cabe naik. Sinetron kan jelas2 fiksi. Bedanya kalo kita stress liat ceritanya gak tamat2 karena bertele2, orang lain malah geregetan nunggu episode selanjutnya 😆

    Soal alasan kedua, IMO cuma ngaruh kalo itu tevemu sendiri. Tapi kalo teve bersama, dan mayoritas seisi rumah nonton PyD, sesungguhnya agak stress tuk menanti 3 jam sebelum channel TV berganti ke acara berikutnya yang (semoga) layak ditonton bersama. Bosen banget nunggunya. Tiap hari pula. 😦

    Soal alasan ketiga, saya gak terlalu yakin sinetron segitunya bawa pengaruh buruk ke penonton dewasa meth. Kekerasan di sinetron sebenarnya minim, hanya tempatnya dalam jalan cerita saja yang gak pernah tepat. 😕

  19. wah tentang yang ditukar tukar lagi….
    aku milih buka leptop chatingan sama mba memet

    kenyataanya orang indonesia memang suka sama sinetron, kalo gak suka ya matikan aja, atau ganti chanel… tapi memang porsi sinetron di televisi kita overdosis dan lebih menampilkan efek negatifnya ketimbang postifinya

    “amiraaa aku nemu kamu di kresek plastik”

  20. saya jujur bosen sama sinetron yg ga abis2
    *eh itu artinya ikutan nonton ya ?* hehe
    tapi ya bener, bahaya kalo anak2 juga ikutan nonton tayangan yg ga jelas, soalnya mereka cepet sekali niru2 hal apa aja

    soal pro kontra mah, bebas aja euy

  21. untung keluargaku nggak terbiasa nonton sinetron yang promonya rame…
    sekarang sih lebih sering mantengin BChannel. lebih pas buat keluargaku, rasanya

  22. hmm, saya pilih si bolang pastinya !
    memang program televisi indonesia ini perlu di reformasi kok.
    dan sedikit mengambil quote dari Band Efek Rumah Kaca: Pasar Bisa Diciptakan.
    Dulu Kick Andy ratingnya rendah banget, tapi terus didukung krn acaranya bagus, membantu masyarakat, dan sangat positif, hingga akhirnya menjadi besar dan punya yayasan seperti sekarang. 😀

Tinggalkan komentar