A Tale of Two Cities dan Hidup itu Belajar & Bercinta

Pagi ini aku dirusuhi memori masa kecil, gara-gara dengerin lagu manis KennyLoggins  “Love Is”.

Entah gimana, aku jadi keinget film yang kutonton pas SD. Filmnya diputer di TVRI (belum masanya tv swasta keknya, lupa lupa inget), film lama yang aku sendiri ga paham judulnya apa. Cuma tahu terjemahannya “Cinta Dua Kota” atau apa gitu.

Sebagai anak kecil, film itu berkesan banget. Sampe-sampe aku menuliskan panjang lebar berlembar-lembar di diary. Iya, aku nangis sampai bercucuran air mata pas nonton film itu.
Yang bikin aku terkesan dan kutuliskan di diary adalah, ketulusan cinta dan pengorbanan tokoh di film itu. Begitu dalamnya cinta si tokoh sampai rela mengorbankan nyawa di ujung guillotine demi perempuan yang dicintainya.

Waaah ketika ingat memori ini dan teringat apa aja yang aku tulis di diary (diarynya masih ada lho), aku terkesima sendiri. Kok sepertinya aku dari kecil kek udah ‘ditakdirkan’ untuk bersinggungan dengan cinta dan jatuh cinta dengan cinta itu sendiri (halah, cintaception dong, haha).

Membayangkan di usiaku yang baru kelas 5 SD, jatuh cinta dengan sosok pria dengan pengorbanan luar biasa itu. Sampai kemimpi-mimpi. Kok aneh ya.

Entah kenapa, hingga SMP, SMU, hingga sekarang, aku kok selalu dan mudah tersentuh oleh jenis cinta yang seperti itu. Call me naive, i don’t know. Tapi tergila-gila dengan kisah Miss Modern, Rose of Versailles, Jendela Orpheus, membaca sampai nangis bombay itu apa? 😆

Mungkin semua itu membentuk persepsi dan definisiku akan cinta. Aku percaya sih, cinta seharusnya bisa membuat orang menjadi lebih baik.

Oh ya, kembali ke pagi tadi, memoriku membawaku menyusuri youtube. Penasaran mencari film apa sih yang bikin anak kelas 5 SD menangis mengharu biru dan membekas sampai sekarang.
Ketemu! Judulnya A Tale of Two Cities (1980).

Well, it’s all connected. Maybe. I don’t know. Past, present, future. Tapi kalau membaca lagi tagline blog ini, terus mengingat memori tersebut, hmmm kok seperti ada ketersambungan. Entahlah. Jalani saja. Mengalir. Hidup ini (sepertinya) memang untuk belajar dan bercinta.

One Big Step

image

Yup, i am finally engaged.

Wahahaha juarang-jarang, suangaaaat jaraaaang aku posting blog isinya sangat personal seperti yang aku tulis berikut.

Iya, ini tentang pertunangan saya. Satu langkah besar sebelum langkah berikutnya. Rasanya seperti mimpi. Antara, “oh, ternyata rasanya seperti ini to, biasa aja” dan “omaigaaat, aku jadi tunangan orang dan itu artinya…” campur baur.

Banyak teman-teman lama yang ga percaya dengan status baru ini. Sialaaaaan, aku bukannya anti dengan komitmen ya, tapi takut. Bukan takut kehilangan kebebasan, tapi takut dengan sisi gelapku ketika dihadapkan dengan komitmen. Takut akan menyakiti orang lain.

Sampai detik ini aku masih percaya, hidup single dan melajang itu lebih enak daripada hidup berdua. Aku bertanya-tanya, yang ngebet mengakhiri status single itu udah pada sadar ga sih, konsekwensinya? Hidup dengan dua kepala itu butuh kebesaran hati dan menurunkan ego lho, karena akan banyak kompromi ketika win-win solution sulit ditemukan. Musti banyak tenggang rasa dan toleransi, banyak memahami dan mendengarkan daripada meminta. Musti bisa menerima ga cuma kelebihan tapi juga kekurangan. Serously, living single is much more easier!

Lalu kenapa kamu mau mengakhiri status single-mu, Met?

Well, aku sendiri ga tahu. :))) Aku dijebak! :)))))

Aku selalu bilang: i was lost and (when) he found me.

Ketika “kopdar” berdua untuk pertama kalinya, ga ada ekspektasi apa-apa. Selain hanya menepati janji yang dibuat dibawah “paksaan”. Kopdar kedua, malah dibuat mbrambangi hampir nangis, hahahaha, kampret. Selanjutnya mengalir aja, tanpa harapan apapun hingga saat yang orang bilang ‘jadian’.

Ketika dia melontarkan maksud seriusnya, aku langsung mengangguk. Entah, apa juga yang ada di pikiran, kok aku langsung mengiyakan. Rasionalisasiku adalah teori blink-nya Malcolm Galdwell. Yeah, i’m thinking with my feeling.

Thank you untuk sedari awal mengingatkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu berisi senang-senang. Thank you untuk sedari mula menyadarkanku bahwa perjalanan kedepan tak selalu mulus. Thank you untuk sedari pertama, membuka diri apa adanya, showing who you really are.

Eh postingan belum kelar, kok belum-belum udah ucapan makasih aja.

Yap, perjalanan yang baru beberapa bulan tapi seperti di-akselerasi. Bukan tentang keputusan besarnya, tapi berbagai peristiwa, proses yang buatku makin membukakan mata. Belajar tentang penerimaan, tak hanya menerima dia tapi juga orang tua. Dan tentu aja hal-hal yang udah aku sebutkan diatas.

Iya, proses teknis lamaran memang menguras pikiran dan tenaga. Wara-wiri jakarta-jogja, terpaksa mengabaikan beberapa momen-momen kopdar dan networking, plus mengencangkan ikat pinggang. Belum lagi konflik dan drama dengan orang tua. Ketika ego saling bertemu, dilema antara memenuhi impian sejak lama atau mengorbankan impian demi orang tua. Belum lagi LDR dan peristiwa~dinamika antar pasangan.

You know what, bahkan dua jam sebelum acara, sempat yang tegangan tinggi dengan bapak. Tapi pas acara lamarannya, bapak ternyata meneteskan air mata hingga tiga kali…  Tukar cincin alias tunangan yang harusnya ga ada, jadi ada. Ga usahlah dijelaskan kenapanya, tapi sumpah itu lucu banget, kocak, memorable pisan. Semua konflik langsung berasa luruh saat itu, everybody happy. Bahagia.

Doaku, semoga kedepan aku bisa makin matang dan dewasa. Proses (belajar) belum berakhir, sangat mungkin berjalan seumur hidup. Lamaran, tunangan, dan acara-acara seremonial/adat sejenis, cuma teknis. Yang lebih penting adalah dinamika dibelakangnya, proses pendewasaan dan kematangan.
You, my anam cara.

The anam cara friendship awakens the fullness and mystery of your life. You are joined in an ancient and eternal union with humanity that cuts across all barriers of time, convention, philosophy, and definition. When you are blessed with an anam cara, the Irish believe, you have arrived at that most sacred place: home. ~ wikipedia.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, apa yang membuatmu mau mengakhiri status single-mu, Met?

I believe because it’s him.

Seems like a long long way to go
But we’ve gotta hang tough
Wait a while give yourself a smile
And you’ll realize that
At the end of the day
It’s gonna work out ~ I’ll Still Be Loving You, Fourplay

So if you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow
Be brave when the journey is rough
It’s not easy when you’re in love
Don’t be ashamed when the going gets tough
It’s not easy, don’t give up
If you want it to get stronger
You’d better not let go
You gotta hold on longer
If you want your love to grow ~ Hang On To Your Love, Sade

dont buy dont breed, adopt!

 

 

Saya pecinta bintang, sepertinya semua orang sudah tahu itu.

Aku benci dan menolak-melawan kekerasan pada binatang, sepertinya semua orang juga paham.

Kalau saya ngomong, nyebut-nyebut “anakku”, teman-teman biasanya udah mahfum kalau yang kumaksud adalah kucing-kucingku.

 

Kepindahanku ke Jakarta seringkali mendapat pertanyaan, gimana nasib anak-anakku, kenapa ga dibawa aja. Kujawab, Jogja adalah rumah terbaik bagi mereka, di lingkungan yang mereka sudah kenal baik dan dikelilingi oleh orang-orang baik hati dan menyayangi mereka. Memang, di Jakarta ini, sering banget aku patah hati, nggregel, berlinang air mata, karena sering banget ketemu kucing-anjing liar di jalanan. Memikirkan nasib mereka dan kemungkinan adanya orang-orang jahat tidak berwelas asih, sungguh bikin risau. Apalagi kalau mendengar berita kekerasan pada binatang, seperti pembuangan bayi-anak kucing. Duh, hatiku lemah sekali. Rasanya lemes, gundah, galau to the max, sedih, tak berdaya dan sebagainya. Ingin menolong tapi keterbatasanku, di kos tidak boleh memelihara kucing, dan keterbatasan resource lainnya.

Kalau sudah galau to the max begitu, aku malah biasanya ga sanggup untuk ngomongin. Bukannya lebih suka memendam, ga ada hubungannya dengan suka atau tidak, tapi aku ga sanggup, bahkan membicarakannya sekalipun. Hatiku terlalu kecil, pecah duluan berderai-derai. Padahal sekelilingku ya banyak juga, yang pecinta kucing atau binatang. Kalau mendengar mereka membicarakan kelucuan kucing-kucing dari segala penjuru dunia, aku malah diam saja. Makin kesini malah makin jarang ngomongin tentang lucunya kucing etc. Ya gimana yah, udah kepikiran duluan tentang nasib kucing-kucing dan hewan lain yang terlantar. Udah broken duluan, ga sanggup mungutin, ga sanggup membicarakannya. Ga kuat.

 

Hingga beberapa waktu lalu, kepikiran ide ini. Yah, bahkan menuliskan ide ini menjadi bentuk postingan pun membutuhkan waktu untuk menguatkan diri menyampaikan sesuatu yang aku anggap penting. Lebay ya? ‘Cuma’ isu kek gini doang, kok sebegitunya. Ya gapapa juga sih, kalau ada yang berpikiran demikian. Lhawong yang benar kurasakan memang seperti itu. Ya tidak menyalahkan kalau ada yang beranggapan remeh.

Kembali ke ide. Cuma berangkat dari pemikiran, bahwa banyak sekali di sekitarku yang suka sekali (kalau ‘sayang’ ga tahu sih, karena menurutku, suka ama sayang itu level intensitasnya berbeda) dengan kucing/anjing. Tapi diantara yang suka itu, banyak yang tidak bisa memelihara kucing/anjing dengan berbagai alasan. Nah, ide ini sifatnya hanya ajakan/himbauan sih, karena bisa dilakukan secara individu. Ga butuh gerakan massa. Jadi, buat kita-kita yang suka binatang tapi ga bisa memelihara sendiri, kenapa tidak memperlakukan semua binatang yang kita temui selayaknya itu binatang piaraan kita. Caranya, selalu bawa catfood/petfood kemana-mana, jadi kalau ketemu di jalan, langsung aja kasih.

Asyik lho, menjalin interaksi dengan mereka, kalau kasusku, kucing-kucing liar tersebut. Mereka yang tidak mempunyai kepercayaan terhadap orang asing karena takut, lalu kita pelan-pelan berusaha membangun rasa percaya. Dan sekali rasa percaya itu terbangun, bonding/ikatan pun terjalin. And its magic!

Kedua, kalau melihat ada hewan liar yang sakit/terluka, segera dibawa ke dokter hewan. Sayang sekali, biaya dokter hewan di Jakarta mahal sekali ya dibanding Jogja. 😦

Ketiga, berpartisipasi kalau ada gerakan sterilisasi kucing/anjing liar, dengan berdonasi. Percayalah, men-sterilisasi hewan liar ini, manfaatnya jauh lebih banyak untuk mereka sendiri, dan ada manfaat juga yang bisa dipetik ulah manusia. Kalau di Jakarta, aku taunya Jakarta Animal Aid Network, bisa dicek di facebook mereka atau situs mereka. Sayang, sejauh aku pernah kontak mereka, kok minim respon.

Keempat, bagi yang ingin pelihara kucing/anjing, remember the platinum rules: DON’T BUY DON’T BREED, ADOPT. Salah satu alasan adalah, when adopt, you’re saving a life. Kalau masih ada kucing/anjing terlantar yang bisa kita pungut, kenapa tidak mengadopsi mereka saja? Selain itu, kenyataan bahwa banyak breeder/pebisnis hewan piaraan yang mengedepankan materi thok, bukan karena mereka sayang binatang.

So, mari kita semakin berwelas asih, terhadap semua mahkluk Tuhan. 🙂

 

NB. Why adopt than buy?

Tidak Semua Yang Menikah itu Pemberani

image

Valentine 2011 ini mendapati dua kabar gembira. Pasutri yang dua-duanya teman, mengabari bahwa sang istri hamil anak pertama. Kedua, seorang teman mengabari bahwa akhir April, akan menikah dengan pria yang telah mendampinginya untuk beberapa waktu ini. Diantara banjir ucapan selamat, ‘quote’ dari mas @imanbrotoseno ini membuat saya berpikir dan melahirkan postingan ini.

Tepatnya yang dikatakan mas Iman adalah sebagai berikut:

Hanya orang orang luar biasa yg berani mengambil komitmen ke perkawinan

Menurut saya itu benar. Terutama bagi mereka yang menyadari betul makna perkawinan. Well, tidak semua orang yang memutuskan untuk menikah adalah orang yang luar biasa dan pemberani. Apalagi mereka yang memutuskan menikah karena alasan-alasan yang bagi saya kurang kuat. Seperti, untuk mengejar status, karena tekanan orang lain/lingkungannya, karena ‘harus’ (bagi saya, menikah itu bukan keharusan, tapi pilihan), dll.

Menikah adalah keputusan yang berimplikasi besar dalam hidup seseorang. Ketika seseorang menikah, dia tidak lagi sendiri, tapi bersama. Konsekwensinya, salah satunya adalah ego yang mungkin saling bertabrakan. Selain itu, kita mungkin akan berubah dalam menjalani proses pernikahan, seperti juga pasangan yang mungkin juga berubah. Jadi dalam kehidupan pernikahan, kita dituntut untuk selalu belajar dan mengenali pasangan. Mengerti. Memahami.

Kebahagiaan bukan tujuan dalam pernikahan. Jika ada yang beralasan menikah karena ingin bahagia, itu nonsense. Karena dalam pernikahan merupakan proses belajar yang tiada henti. Ketika dia merasa tidak bahagia, lalu apa? Berhenti? Lalu mengejar kebahagiaan yang lain lagi?

Itulah mengapa, saya setuju bahwa mereka yang memutuskan untuk menikah dengan penuh Kesadaran (sengaja dengan huruf kapital, karena tidak sekadar ‘sadar’ secara kognitif, tapi proses spiritual) maka saya menyebut mereka sebagai orang-orang pemberani. Saya salut. Kagum.

NOTED.
Mereka yang lelah untuk meneruskan proses pembelajaran, bukanlah individu gagal. Itu ‘hanya’ sebuah pilihan. Dan saya sangat yakin, pilihan itupun juga sebuah proses belajar. Hei, seperti tagline blog saya, hidup itu untuk belajar dan bercinta, bukan?

Jodoh tak Bisa Diduga, tapi Karakter Pasangan Anda Bisa Diduga

 

 

Kemarin menjenguk sahabat yang sedang tetirah di Jogja dalam rangka pengobatan. Nostalgia-nostalgia hingga mendapat kisah cinta terkait teman masa SMU.

Jadi waktu itu, dari ngobrol ngalor ngidul bernostalgia tentang masa SMU kuliah termasuk apdet kabar teman-teman lama. Ibu sahabat saya ikut nimbrung dan bercerita tentang senior jaman SMU, cowok. Dari cerita ibunda teman saya itu, baru tahu kalau si senior ini menikah dengan teman sekelas. Yang bikin saya surprise adalah karena kedua orang ini berasal dari dua dunia yang berbeda, alias waktu SMU sepertinya mereka gak pernah berhubungan.

Senior cowo ini cukup manis, dengan ciri-ciri fisik tinggi, putih, langsing, berkaca mata, imut, manis, pendiam. Mirip-mirip bintang Korea itu deh, tapi jangan ditanya yang mana, soale saya ndak apal. Sedangkan teman saya itu (sebut saja M) secara fisik, lebih pendek dari saya, agak gemuk, wajah bulat polos tanpa make up blas, rambut seleher tanpa ditata macam-macam, penampilan sangat bersahaja. Tergolong murid pintar, tekun, dan lempeng. Bukan termasuk golongan populer, blas, bahkan dia masih kalah terkenal dengan teman sekelas yang juga termasuk geek.

Nah, kata ibunda sahabat, si senior ini naksir M sudah sejak lama tapi katanya mo pedekate sama doi susah sekali. Hingga suatu saat jauh setelah masa SMU, mereka bertemu di pesta kawinan, dan dalam waktu tiga bulan mereka menikah. Kata ibunda sahabat, si M ini miriiiiipppp baaaangeeet dengan mertua perempuannya. Malah katanya lagi, M  lebih pas jadi anak mertuanya daripada ibu kandungnya. Karena M dan ibu kandungnhya secara fisik dan penampilan berbeda. Si ibu gaul dan modis, lain dengan putrinya yang sangat bersahaja.

Dari uraian diatas bukan bermaksud gimana-gimana/mendiskreditkan fisik. Okay jujur saya masih surprise, jodoh memang tak bisa diduga (bagi yang percaya adanya jodoh lho). Jodoh bisa datang dari lingkaran yang ‘jauh’ dari kita, tak terduga. Andai saya di posisi si M, mungkin heran. Bagaimana tidak, bukan siapa-siapa masa SMU alias tidak popular blas. Secara fisik merasa tidak istimewa. Tetapi dia yang ganteng bak bintang film Korea, ternyata menaruh hati sudah sejak lama. Apa yang dia lihat dari saya dan membuatnya tertarik?

 

Dari sini, timbul pikiran iseng saya. Menyimak kembali cerita ibunda sahabat jadi kepikiran. Mertua si senior ini mirip benar dengan menantunya. Jangan-jangan si senior ini tertarik dengan M karena faktor kemiripan tsb. Lantas, apa artinya kalau seorang anak lelaki mencari pasangan yang mirip dengan ibunya?

Ada banyak kemungkinan. Mungkin ia sangat memuja/mengagumi ibunya tapi mungkin juga ia anak mami. Waktu saya lempar pertanyaan tersebut ke twitter, ada beberapa respon. Mulai dari mothercompleks, Oedipus complex,  hingga haram dalam pandangan agama.

Well? Postingan ini hanya intermeso, tidak usah dianggap serius. Tapi kalau hendak berbagi, silakan saja 😀

Yakin, Pengen Punya Suami Seperti Habibie?

Semua gara-gara twitter. Eh maksudnya begini. Semalam, berbarengan dengan acara Mata Najwa yang memutar ulang kisah cinta Habibie-Ainun Habibie, timeline lumayan rame dengan komentar mereka-mereka (umumnya perempuan) yang terharu. Para komentator ini komennya mirip-mirip, pada intinya mereka ingin mempunyai kisah cinta yang abadi sampai kakek nenek, dicintai hingga masa tua tiba, bahkan ketika maut memisahkan rasa cinta itu tak pudar. Bahkan tak sedikit perempuan yang berkhayal (?) ingin punya suami seperti Habibie.

Saya yang tidak menonton tapi cukup membaca timeline, jadi bertanya-tanya. Satu, ingin punya suami seperti Habibie itu yang gimana? Wajah/fisiknya mirip, pinternya yang seperti Habibie, kekayaan seperti Habibie, atau dicintai seperti Habibie mencintai istrinya Ainun? Kedua, tak habis pikir dengan mereka-mereka yang sepertinya terbuai oleh kisah cinta itu. Tidakkah terpikirkan prosesnya sehingga pernikahan itu bisa awet hingga kakek nenek? It takes two to tango, Ladies!! Anda, perempuan, tidak bisa mengharapkan suatu hubungan akan awet sampai 50 tahun kedepan, dan hanya pihak pria saja yang bekerja keras untuk mencintai Anda. Non sense!!!

Jadi geli saja sih, kalau yang dipikirkan untuk membentuk mahligai kisah cinta yang abadi seperti yang dilihat adalah suami yang mau mencintai hingga 60 tahun kedepan. Lha diri sendiri ngapain dong? Again, it takes two to tango!!! Apalagi, belum tentu dibalik layar kisahnya seperti apa yang terlihat. Mata itu menipu, Ladies. Mata itu menipu karena dia tidak melihat yang tidak bisa dilihat.

Jadi maunya suami seperti Habibie yang mencintai sampai maut tiba? Jadi maunya dicintai tanpa putus? Oh, gimme a break, Ladies.

Biarkan saya berbagi pengalaman saja. Saya pernah berada dalam kondisi dicintai tetapi tidak mencintai. Apakah saya senang? Sepertinya ya, karena saya mendapatkan -katakanlah- pengawal pribadi, psikolog, supir, etc etc. Tetapi apakah saya bahagia? Ternyata tidak. Lama-lama saya merasa hampa, tidak merasakan apa-apa dari hubungan yang dijalani. Hanya sebatas kesenangan semu.

Tentu saja saya pernah mencintai. Dan benar adanya, ungkapan yang pernah saya baca di buku tentang sufisme, bahwa kebahagiaan itu ada pada mereka yang mencintai. Biarpun Gibran berkata, bahwa cinta seperti sayap dan dibaliknya terdapat pedang-pedang tajam yang siap melukaimu ketika sayap tersebut merengkuhmu, tetapi darah yang mengalir sangat berharga. Itu darah kebahagiaan, Jendral. Call me lebay. But thats true.

Ketika saya mencintai seseorang, saya cenderung akan berusaha membuat dia bahagia. Dan my ultimate happiness is, i’m happy when he’s happy. Although he doesnt love me. I’ve been there, i’ve been done that. Hancur mengetahui cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan. Tetapi jika diingat-ingat lagi bagaimana saya mau melakukan apa saja untuk membuat dia bahagia, nyaman, tercukupi kebutuhannya, saya bahagia. Perasaan yang lebih dari sekedar emosi, perasaan yang sangat dalam.

Dicintai itu hanya memberikan rasa aman. Mencintai, akan membuatmu menjadi manusia seutuhnya.

Dan untuk sebuah kisah cinta yang langgeng, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak yang mencintai. Give and give. Termasuk mencintai segala kekurangannya dan tidak banyak menuntut. Can i? Can you?

Mumpung Jomblo, Pergilah Lihat Dunia Seluasnya, Selebarnya

Sungguh. Seriusan. Beneran.

Alasannya, saya mengamati; mereka-mereka yang bertemu lebih banyak orang, sering berjumpa dan berinteraksi dengan orang baru, bergaul dengan berbagai kalangan, sering berada di tempat-tempat baru, biasanya wawasannya lebih luas dan pemikirannya lebih terbuka. Memang hasil amatan saya tidak 100% bersifat absolut, selalu ada pengecualian.

Selain itu, dunia ini terlalu sayang jika tidak dieksplorasi. Menyenangkan sungguh, bisa bepergian ke berbagai tempat, berpetualang, tidak melulu di mall. Bertemu (apalagi jika sampai berinteraksi) dengan kebudayaan dan kebiasaan yang sungguh berbeda dengan kita. Menemukan kebesaran Tuhan dimana-mana. Mengalami sendiri tentu sejuta kali berbeda daripada hanya menyaksikan lewat televisi atau membaca saja.

Tetapi selalu ada beberapa situasi khusus yang membuat kita tidak bisa leluasa menuntaskan hasrat petualangan kita. Berpasangan adalah salah satunya. Berkaitan dengan ini, beberapa bulan lalu sewaktu berada di luar kota nan jauh dimato, saya menemukan pencerahan.

Jadi ceritanya, saya dan teman saya, mewakili Cahandong, diundang ke Padang oleh Oxfam. Teman saya si Alle mengajak untuk extend, mumpung di Padang sekalian ke Bukittinggi. Saya antusias dengan ide tersebut, untuk itu saya ijin dulu kepada Kangmas. Ternyata sesuatu dan lain hal membuat saya berubah pikiran dan membatalkan rencana extend ke Bukittinggi.

Pada saat mengambil keputusan tersebut, saya termangu, seperti inikah situasinya jika saya telah menikah dan berkeluarga nanti? Tidak lagi sebebas masa lajang, karena tentu saja ada prioritas-prioritas lain yang musti didahulukan. Saya yang sangat memuja kebebasan, mendadak tersadar. Dan seiring kesadaran itu datang, rasa ikhlas itu muncul.

Prioritas seseorang dapat berubah-ubah, sesuai dengan situasinya. Kondisi masyarakat (yang cenderung patriarkhal) dan konstruk sosial turut berpengaruh. Mau tidak mau musti menyadari bahwa ketika perempuan  sudah berpasangan, apalagi menikah, maka prioritasnya berubah tak lagi dirinya menjadi nomer satu. Situasi seperti ini kadang (atau sering?) membuat perasaan tidak puas itu muncul. Akibatnya bisa fatal, status bisa menjadi kambing hitam atas ketidakbahagiaan.

Saran saya, buang jauh-jauh rasa penyesalan itu. Kuncinya ada pada kesadaran. Seperti ketika saya yang dengan sadar 100% memilih untuk membatalkan ke Bukittinggi demi orang lain. Saya sadar, that i choosed him over myself. Dats my happiness. The happiness of being together.

Being single is fun. Thats so true. Karena itu, saya menghimbau teman-teman yang masih single, untuk buru-buru melihat dunia, seluas-luasnya, selebar-lebarnya. Mumpung. Serius nih.

Soal bahagia, bahagia itu keputusan kok. Pilihan. Sekarang, detik ini juga, saya bisa memutuskan untuk bahagia. Soal kebebasan, hmmm… Seperti yang saya utarakan diatas, prioritasnya mungkin sudah waktunya direvisi. Kebersamaan, mungkin menjadi urutan awal dari daftar prioritas. Dan kuncinya, sekali lagi adalah kesadaran.

Notes.

Soal kesadaran ini, seperti dalam tulisan saya yang ini, dalam memilih dan membuat keputusan ada baiknya karena memang sesuai dengan kata hati. Bukan karena kata orang-orang. Termasuk postingan ini sekalipun.

Oia, endingnya, saya ternyata jadi berangkat ke Bukittinggi. Jadi tips lain kalo memang doyan berpetualang, sebisa mungkin cari pasangan yang memahami kegemaran akan jalan-jalan. Apalagi kalau doyan jalan-jalan bareng. Kesasar berdua? Malah jadi anugerah!! LOL

Lotus, Rindu, Puisi Cinta, Valentine, dan Imlek

Niat  awal adalah iseng, pengen ikutan lomba puisi cintanya Simbok setelah baca puisinya Mbak Rara. Siapa tahu dapet hadiahnya, karena belum sempet beli bukunya (dikeplak Simbok sama Silly, sebagai fans murtad). 😆

Terus niatan awal adalah posting di posterous, dengan memanfaatkan koleksi jepretan saya. Tapi saya urungkan, karena nurani berbisik mengingatkan, “Hei, itu kan stok tahun 2008. Sedang posterousmu mustinya jepretan aptudet yang sesuai dengan semangat project #365shots.”  Jadilah saya mengurungkan niat saya dan posting di blog seksi ini. *dikampleng*

Waktu gugling makna bunga lotus, niatan awal berubah jadi tertarik untuk tidak sekedar bikin puisi. Ternyata Sodara, makna bunga lotus sangat dalam dan erat kaitannya dengan spiritual. Well, saya jatuh cinta dengan bunga lotus sendiri belum lama, sekitaran 2008. Dulu, tahunya bunga lotus sama dengan bunga teratai, tapi ternyata beda. Coba perhatikan gambar lotus dan teratai, atau kalau beruntung mengamatinya secara langsung di alamnya. Selain indah, kalau memandang bunga lotus dapat memberikan vibrasi energy positif yang menenangkan (hal ini dikuatkan oleh para praktisi spiritual, bahwa bunga lotus mengandung energy/aura positif).

Berikut beberapa makna bunga lotus:

1.  Bunga lotus merupakan representasi spiritualitas dalam kehidupan kita. Bunga lotus mewakili/menyimbolkan kejernihan hati dan pikiran. Beberapa percaya bahwa lotus juga symbol dari kekuatan, keberuntungan,  dan  kehidupan.  Bunga lotus juga menyimbolkan kelahiran dan beauty.

2.  Berhubung bunga lotus yang saya foto di atas berwarna merah (magenta kali ya) maka arti berikut saya cocok-cocokkan saja, hihihi. Padahal ini makna bunga teratai, tapi tidak ada salahnya kita mengetahuinya :

Teratai merah melambangkan keadaan asli hati. Simbol cinta, kasih sayang, keaktifannya, nafsu dan emosi lain yang terkait dengan hati. . Teratai merah biasanya digambarkan dengan kelopak terbuka, yang mungkin untuk melambangkan keindahan dan keterbukaan hati yang memberi.

3. Kalau untuk tattoo, bunga lotus sering digunakan pemiliknya, untuk menggambarkan tranformasi spiritual yang mereka jalani. Seperti bunga lotus yang tumbuh dari biji yang tertanam di lumpur yang kotor, maka seperti itulah yang ingin pemilik tato ceritakan. Kehidupan keras yang dijalani, tapi mampu mentransformasikan mereka.

Setelah mengetahui makna dari bunga lotus, saya jadi berubah pikiran mengenai bunga ini. Tidak sekadar indah dan rapuh (bunga ini cuma berkembang sehari, mekar di pagi hari dan sore hari sudah menguncup, kelopaknya berguguran),  tetapi  bunga ini mewakili sebentuk cinta yang lebih dalam, lebih transedental, lebih hakiki. Tidak seperti bunga mawar yang kita bisa menikmati dengan dipotong tangkainya, cara terbaik menikmati bunga lotus ini adalah pada habitatnya. Pagi hari, entah di potnya, sambil menikmati suasana pagi dan meresapi energy yang muncul.

Beruntungnya saya, saya  bisa menikmati keindahan bunga ini di halaman. Dan entah, sepertinya berhubungan, tanggal 14 Februari adalah Valentine sekaligus Imlek. Lotus, bunga yang bisa mewakili sebentuk cinta sekaligus perayaan spiritual. Selamat Valentine dan Imlek. Semoga dunia menjadi lebih baik lagi, begitu pula kita.

Oia, mengenai lomba puisi cinta-nya Simbok, hmmm…let me see. Secara saya bukan puisi mania, bukan pula pandai menggombal.  Tetapi selalu ada rasa rindu yang ingin saya sajikan lewat kata-kata. Simbok, terimalah puisi cintaku yang berjudul “Rinduku”. 😀

mendung mengingatkanku akan rindu

dan rindu ini terlalu dalam menghunjam

rindu yang tak terucap, rindu yang tak tertuntaskan, rindu yang membuatku meranggas

hujan menyemai bibit rindu

rinduku merimbun, lebat dan subur

tapi aku dahaga akan kamu

my dear,

if you feel tired and weary, come to me.

I may not a solution, but i’ll give you my love.

Just touch my lips and close your eyes, you’re safe now.

Punya Pacar Lantas Lupa Teman?

image bank

Hadirin sidang pembaca yang saya hormati. Siapa di antara hadirin yang pernah merasakan dilema antara memilih kekasih dan teman-teman? Ayo ngacung!! 😀

Saya, errr….jujur ndak pernah sih, hihihi. Tapi saya punya cerita tersendiri tentang ini. Jadi waktu itu masih jaman-jamannya kuliah. Yah, namanya juga masih remaja~dewasa awal. Masih seneng-senengnya ubyang-ubyung sama teman-teman. Palagi kalo membentuk gank-gank-an ato clique. Udah deh, berombongan kemana aja ya dengan gerombolan ituuu terus. Kelompok gaul. Beredar di mana-mana. Rame. Meriah. Seru.

Hingga suatu ketika, teman kami ada yang pacaran. Cowok. Dan mendadak teman kami ini ‘menghilang’ dari kelompok. Oia, sebagai gambaran, saya waktu itu punya gank, terdiri dari 7 cewek dan 5 cowok. Seru kan? Nah, menghilangnya teman kami ini jelas menyisakan rasa kehilangan. Apa-apa yang serba bareng kok mendadak ada yang kurang. Dan lucunya, waktu itu yang protes malah teman-teman cewek. Apalagi kalau si teman cowok ini cuma nongol pas ada acara makan-makan gratisan, wuah kami bisa yang ngamuk-ngamuk dan nyindir abis-abisan. Dan teman-teman cowok kami sibuk membela teman mereka hingga kami berkata, “makan tuh setia kawan”.

Ketika teman kami ini tidak lagi berhubungan dengan pacarnya alias putus, ajaib. Dia kembali rajin nongol dan ubyang-ubyung bersama kami. Kami cuma bisa mengelus dada kami masing-masing. Anehnya hal ini kebanyakan malah menimpa teman-teman kami yang cowok. Pokoknya waktu itu, kalau teman cowok kami ada yang pacaran, bisa dipastikan dia menghilang dari kelompok hingga hubungan dengan si pacar putus. Sementara, kami-kami yang cewek, meski punya pacar, tapi entah kok masih bisa jalan bareng.

Tapi itu pada satu populasi. Lain lagi dengan populasi gank saya yang lain. Cewek semua. Kebetulan waktu itu kami masih jomblo semua, masih kinyis-kinyis belum pernah pacaran. Salah satu dari kami ketiban pulung ditembak cowok dan akhirnya pacaran untuk pertama kali. Yang terjadi kemudian, anak ini pelan-pelan menjauh dari kami. Kalau diajakin jalan bareng atau kumpul-kumpul, kebanyakan ditolak dengan alasan sudah ada acara bareng pacar. Paling menyebalkan adalah (ini baru kami sadari beberapa lama kemudian), teman kami ini menghubungi kami kalau pas lagi butuh.

Jadi waktu itu kejadiannya begini. Pacar teman kami ini pindahan kost dan dia mengkontak kami apakah kami bisa bantu bawain barang-barangnya ke kost baru. Sementara itu pacarnya sedang di luar kota dan memasrahkan urusan tersebut pada teman kami. Waktu itu kami iyakan. Jadilah kami mengangkuti barang-barangnya si pacarnya temen dan dengan mobil saya mondar-mandir ke kos-an lama dan baru. Kasus lain yaitu ketika si teman mengiyakan ajakan kami karena ybs sedang jablay ditinggal pacar kemana.

Soal yang sama pernah juga menimpa saya dan sobat saya, tidak mesti gank-gank-an. Kami berdua adalah teman dekat waktu SMU. Sobat saya ini menjelang Ujian Akhir Nasional, jadian dengan teman sekelas. Duh, mesraaa banget, kek film ACI 😀 . Saya yang biasanya kalo nunggu bis berdua dengan sobat saya, terpaksa sendiri, karena sobat udah dibonceng pacar. Alhamdulillah sih, hubungan mereka berlanjut sampai kuliah. Dan kami kadang masih jalan bareng. Ya benernya nyaris-nyaris mirip seperti kisah saya di atas, tapi saya tidak begitu mempersoalkan. Hingga kemudian saya ‘tersadar’. Jadi waktu itu sobat saya minta tolong saya untuk menemani dia pergi. Saya mengiyakan. Tapi di detik-detik terakhir, sobat tadi membatalkan karena ternyata pacarnya mengajaknya pergi. Kecewa saya.

Berangkat dari peristiwa tersebut, saya jadi bertanya-tanya. Kenapa kecenderungan sebagian orang yang punya pacar lantas jadi seperti melupakan teman-temannya? Mengapa kedua hal tersebut (pacar dan teman) tidak diblend saja sehingga enak-enak saja, tidak ada keharusan memilih pacar atau teman. Kok sepertinya, bagi sebagian orang tersebut, dua hal tersebut menjadi suatu pilihan, menjadi suatu dilema. Selain itu ada persamaan antara kasus-kasus tersebut. Persamaannya adalah, mereka-mereka ini entah kenapa kok jarang bawa pacarnya untuk ikutan jalan bareng dengan teman-temannya. Well, ini yang terjadi di sekitar saya sih, nggak tau kalau yang lain.

Padahal bagi saya, antara teman dan pacar ya harusnya adalah dua hal yang berbeda dan saling mengisi, ada keseimbangan disitu. Contohnya, bagi saya, siapapun dia yang janjian terlebih dahulu dengan saya, itulah yang saya utamakan. Jadi misal pacar mengajak untuk nonton bareng, tetapi saya udah terlanjur janjian dengan teman-teman, ya saya meminta pengertiannya bahwa saya udah kadung janji sama teman-teman. Dan ya memang itu yang saya terapkan.

Dan yang ‘paling buruk’ dari skenario dilema antara pacar dan teman tersebut adalah, jika mempunyai pacar yang ‘diktaktor’. Yang membuat kita merasa harus memilih, antara si Dia atau teman-teman. Seperti di pilem-pilem itu loh. Eh, tapi ini beneran ada. Teman saya mengalaminya. Jadi sampai sekarang, dia menyembunyikan pertemanan dengan teman-teman cowoknya karena si pacar ini ndak suka dia bergaul dengan lelaki. Aseli pencemburu. Padahal aslinya si teman ini, dia supel dan mudah bergaul. Banyak temannya termasuk cowok-cowok. Sekarang mereka udah menikah. Dan catatan tentang teman-teman cowoknya itu masih tersimpan rapat. Untung teman-teman cowoknya bisa ngerti sehingga bisa ikut bagian dalam sandiwara itu. 😛

Love Journey (1) : Faces of Love

Patkay, salah seorang kolega Sun Go Kong, terkenal dengan ungkapannya, “Cinta, deritanya tiada akhir.”

Patkay boleh saja berpendapat demikian, tapi cinta mampu menginspirasikan berjuta-juta manusia sepanjang masa. Bahkan, seorang mursyid, Syaikh Muzaffer Ozak mengatakan, esensi ketuhanan adalah cinta. God is love. Kita ada di dunia ini karena cintaNya, demikian para bijak mengatakan. Apa yang kita rasakan ketika kita jatuh cinta, itu hanya secuil proyeksiNya, sarana untuk mengenal CintaNya.

Cinta adalah sebuah penderitaan unik yang menyenangkan, demikian Syaikh Muzaffer Ozak mengungkapkan. Siapa yang belum merasakan nikmat , dahsyat, kuat, dan kemudian hancur berkeping-keping karena cinta ?

Jatuh cinta, berjuta rasanya. Ketika kehilangan cinta itu, jutaan rasa itu pun juga ada. Rasa jatuh cinta begitu seperti candu, tetapi tak sedikit pula yang ketakutan dengan sensasinya, dengan alasan tidak sanggup merasakan jika sensasi candu itu menghilang.

Bagi saya, ungkapan Syaikh Muzaffer di atas, cukup menggambarkan apa yang saya rasakan tentang cinta. Cinta tak selamanya indah seperti yang diangankan. Tapi, bahkan sakitnya pun mendewasakan. Tak terhitung saya jatuh bangun dalam bercinta, tapi puji Tuhan, tidak membuat saya kapok dalam bercinta. Mungkin juga didukung saya berbakat dalam hal amnesia hehehe. Lupakan rasanya tapi tidak hikmahnya :mrgreen:

Jujur saja, saya sering bingung dengan mereka-mereka yang trauma dalam percintaan, dan kesulitan untuk membuka hati mereka terhadap cinta. Lhawong, setiap hari kita itu disapa oleh cinta, kok tega banget menutup diri oleh sesuatu yang indah dan menyenangkan.

Saya dulu juga sering ‘berdebat’ ketika sampai topik lebih baik (atau enak?) mana dicintai atau mencintai. Kini saya sampai pada tahapan, bahwa betul ternyata, kebahagiaan itu ada pada pihak yang mencintai. Siapa yang tak mekar hatinya, melihat sang kekasih bahagia ? Itu saja. Dan rasanya, tak perlu lagi memperdebatkan mencintai atau dicintai. Just do it. Cintai saja. Free yourself. Jika masih mempertanyakan berarti masih ragu. Berarti masih ada ketakutan. Ketakutan akan apa? Takut sakit karena kehilangan? Apa yang terjadi ketika kita merasakan sakit tersebut? Tidak enak? Mengapa menghindari rasa tidak enak tersebut? Apa bedanya dengan rasa bahagia, suka, dsb, apakah kita mengharapkan rasa tersebut melanda diri kita setiap saat?

Oh, stop, saya seringkali terlalu hobi mendekonstruksi segala hal, termasuk cinta.

Saya hanya merasa sayang, dengan mereka-mereka yang tak mau merasakan dan menerima wajah lain cinta, wajah yang tak indah, bahkan ‘menyeramkan’ bagi sebagian orang.

Mengapa hanya mau menerima wajahnya yang indah tapi menolak wajahnya yang berbeda ?

Setiap hari cinta menyapa saya. Begitu juga dengan orang-orang di sekeliling saya. Ada yang sedang kasmaran, merindu, dan juga yang sedang merana karena cinta. Saya buka hati saya lebar-lebar untuk cinta. Bahkan ketika cinta datang dengan wajahnya yang menakutkan. Hai, tak usah takut. Ini juga cinta, hadir dengan wajah yang berbeda.